Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

NAIK daunnya istilah sugar daddy senada seirama dengan melesatnya istilah gold digger, yang sayangnya sama-sama menggambarkan sesuatu kurang terpuji. Keduanya mewakili sisi gelap dari nafsu liar manusia, yang menjadi ujian atas kepedulian kita bersama.   

Pada kamus daring dictionary.cambridge.org dijelaskan dengan sangat menarik:

Sugar daddy: a rich and usually older man who buys presents for or gives money to a younger person, especially a woman, usually so that the younger person will spend time with him and have a sexual relationship with him.

Di sini, sugar daddy digambarkan sebagai sosok pria kaya raya yang biasanya sudah berusia tua, yang membelikan hadiah-hadiah atau memberikan sejumlah uang kepada orang yang lebih muda, terutama wanita. Sebagai kompensasinya, wanita muda itu akan rela menghabiskan waktu bersama sang sugar daddy bahkan sampai berujung ke hubungan seksual.

Ada gula ada semut, ada harta ada wanita. Maka sugar daddy ibarat lelaki bergelimang gula, yang manisnya akan dikerubuti semut-semut cantik. Tidak perlu repot-repot mencari wanita, bersama gemerlap kekayaannya sugar daddy akan menjadi magnet kaum hawa nan jelita.

Masih dalam kamus daring dictionary.cambridge.org

Gold digger: someone, usually a woman, who tries to attract a rich person, usually a man, in order to get presents or money.

Secara makna literalnya, gold digger berarti penggali emas. Namun, pemaknaan teranyar menggambarkan seorang wanita yang mencoba menarik perhatian orang kaya (biasanya pria) untuk mendapatkan hadiah atau uang.

Dengan demikian, klop sudah sugar daddy dan gold digger.Di satu kubu ada pria yang mengincar wanita bermodalkan iming-iming kekayaan, sedangkan di kubu seberang ada wanita yang mengincar pria kaya demi mengeruk harta.

Ingatlah, sepanjang hayatnya Rasulullah Saw lebih banyak menjalani masa yang berlimpah harta, yang lebih panjang mengalami masa-masa kejayaan secara ekonomi, yang membuat beliau makin bersemangat dalam bersedekah. Pernah dalam suatu momen beliau meludeskan setumpuk emas perhiasan untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin.

Sementara beliau dan keluarga tetap setia dalam hidup penuh kesederhanaan. Nabi Muhammad mengamalkan pola sangat bersahaja untuk seorang kaliber pemimpin dunia akhirat.

Manusiawi jika istri-istri beliau meminta kenaikan belanja nafkah, setidaknya ingin menikmati sedikit kemilau duniawi. Namun, Nabi Muhammad adalah teladan bagi masyarakat Islam. Tuntutan mereka ditolak oleh Rasulullah dan juga mendapatkan dukungan Al-Qur’an.

Surat al-Ahzab ayat 28-29, yang artinya:

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, kemarilah untuk kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Jika kamu menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat, sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu.”

Said Al-A’zhawi An-Nadawi dalam bukunya Aisyah Kekasih yang Terindah (2017: 136-137) menuliskan: 

Kita tahu bahwa mayoritas istri-istri Rasulullah Saw menuntut agar beliau memberi tambahan nafkah kepada mereka. Dan Rasulullah Saw sama sekali tidak ingin mengotori kehidupan beliau dengan kenikmatan duniawi, hanya demi memenuhi hasrat istri-istri. Karena itu, wajarlah bila beliau merasa jengkel dengan tuntutan tersebut. 

Beliau hendak mengajarkan kepada mereka untuk bersabar menghadapi kesulitan hidup, sebagaimana beliau bersabar menghadapinya. Beliau ingin menyadarkan istri-istri bahwa mereka adalah teladan bagi umat Islam dalam hal qana'ah dan menahan hawa nafsu, bukan teladan dalam hak kemewahan dan kenyamanan hidup. 

Maka istri-istri Nabi itu diperintahkan untuk memilih salah satu dari dua opsi, bercerai atau bersabar. Dan mereka pun memilih yang terbaik di antara keduanya: hidup sederhana bersama Rasulullah Saw.

Singkat kata, gold digger jelas diharamkan dalam Islam, terlebih dalam aktifitasnya yang berujung ke urusan seksualitas. Begitu pun sugar daddy, menjadi terlarang karena sama dengan menistakan martabat perempuan.

Kalau ukurannya adalah kekayaan, maka Nabi Muhammad Saw sangat bisa menjadi sugar daddy. Tetapi, bagaimana seorang lelaki menghargai hidupnya sendiri, jika dalam menaklukkan hati perempuan dia hanya mengandalkan harta?

Di sini, yang rendah nilainya bukan hanya si wanita yang mudah ditaklukkan harta, tetapi lebih rendah lagi sang sugar daddy yang tidak punya kualitas diri dan hanya mengandalkan kefanaan harta.

Sekiranya masih ada wanita yang berhasrat menjadi gold digger, yang menjual kecantikan lahiriah demi mengeruk keuntungan materi, maka sungguh dirinya sudah merendahkan martabat sendiri. Bagaimana bisa mencari keagungan diri, tetapi malah menjual potensi tubuh demi harta duniawi yang rendah?

Istri-istri Rasulullah masing-masingnya punya keunggulan pribadi yang menakjubkan. Khadijah cemerlang dengan perjuangan bisnis, hingga menjadi konglomerat. Aisyah menonjol dengan intelektualitasnya, Zainab terkenal dengan kreatifitas wirausaha dan sangat dermawan, Ummu Salamah yang matang sekali jiwanya hingga mampu mendampingi suami dalam berdiplomasi, dan lain-lain.

Percayalah, setiap wanita itu cantik! Tetapi, cobalah untuk lebih percaya bahwa setiap perempuan punya potensi besar untuk meninggikan kapasitas dirinya. Terlalu malang jadinya bila ada wanita menjadi gold digger dengan menjual harga diri, hanya mengandalkan kecantikan fisik. Sementara dalam Islam, kecantikan batin adalah yang paling utama.




Menyongsong Resesi 2025 dengan Ketenangan Batin

Sebelumnya

Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur